Minggu, 27 Mei 2018

Berhenti Merokok Cara Gorontalo


merokok mojokBerhenti Merokok
Atinggola adalah satu kecamatan di Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Kecamatan itu merupakan batas antara Gorontalo dan Provinsi Sulawesi Utara. Oleh karena perbatasan, di sana terdapat pos DLLAJ yang memungut pajak dari kendaraan yang melintasi jalur tersebut.
Di pos DLLAJ, ada seorang pegawai bernama Kolobi. Ia perokok superaktif. Setiap minggu ia harus pergi ke pasar untuk membeli rokok satu slop yang dia nikmati sendiri. Merek kesukaannya Gudang Garam Surya yang terkenal karena menendang keras di dada.
Pada suatu hari Kolobi memutuskan berhenti merokok karena merasa boros. Aktivitas membeli rokok satu slop di pasar ia ganti dengan membeli permen. Satu pak permen setiap minggu.
Dua bulan ia berhenti merokok. Suatu ketika, saat melihat temannya sedang merokok Surya, ia ingin menguji imannya. Ia mintalah satu batang Surya kepada si teman, dan dihabiskannya. Apalah daya, ternyata imannya goyah dan setelah mengisap sebatang Surya itu, ia kembali merokok rutin. Sejak itu, saban minggu ia harus membeli rokok satu slop dan permen satu pak.
Badan Tahan Hujan, Rokok Tidak
Selain menjadi penjaga pos DLLAJ, Kolobi bertani. Ia punya kebun tak jauh dari rumahnya. Jaraknya sepuluh menit saja dengan jalan kaki.
Jika Kolobi menjalani tugas di malam hari, paginya ia libur. Waktu libur itulah yang dimanfaatkannya untuk berkebun.
Mengenakan pakaian compang-camping ala petani, hari itu ia pergi ke kebun jagung. Membersihkan rerumputan dan menyemprot tanaman agar sehat. Namun, saat itu alam tak bersahabat. Hujan lebat turun sehingga Kolobi harus berlari ke pondok.
Di pondok ia bukannya mengambil baju hujan, melainkan selembar daun yang pohonnya tumbuh di samping pondok. Lebar daun itu setelapak tangan, ia manfaatkan untuk memayungi rokok yang terselip di bibirnya dengan satu tangan. Dengan rokoknya dipayungi daun itu, ia kembali membersihkan rerumputan dengan satu tangan.

Mandi Cara Begini Tak Bisa Sambil Berenang
Hujan berhenti dan hari telah sore. Kolobi kembali ke rumah untuk mengambil peralatan mandi. Ia kemudian menuju ke sungai di belakang rumahnya.
Baju dan celana ia lepaskan satu per satu. Sambil merokok, Kolobi melakukan aktivitas pelepasan pakaian. Jika tangan kanan beraktivitas, tangan kiri memegang rokok. Jika kedua tangan dipakai, rokok Surya ia jepitkan di bibir.
Kolobi menyisakan celana dalam lalu perlahan berjalan ke bagian sungai yang tak dalam airnya. Di posisi air sampai di pusar, berhentilah Kolobi.
Meski Kolobi telah mencapai sungai, ia tak kunjung melepas rokok yang masih setengah batang. Jika ia membasuh badan, salah satu tangan yang memegang rokok. Jika ia menggunakan sabun, rokok diselipkan di bibir. Begitu seterusnya hingga ia selesai mandi. Jika rokok habis, ditambah lagi. Terus menyala sampai ia kembali ke rumah.

Haram Ditambah Halal Sama dengan Halal
Paginya Kolobi kembali menjaga pos DLLAJ. Ia dibantu dua rekannya. Sebagai penjaga paling senior, Kolobi tak lagi berdiri di jalan menunggu mobil lewat. Ia hanya duduk di pos saja.
Menjelang siang, ia meminta izin kepada dua rekannya untuk keluar sebentar karena ada satu urusan. Ia akan kembali saat pergantian piket jaga. Sebelum berlalu ada satu pesan yang ia titipkan kepada dua rekannya, “Uang pungutan dari mobil yang muat babi dan anjing dipisah dari mobil yang muat penumpang.”
Uang hasil pungutan pos itu memang dibagi dua, setengah untuk pemasukan daerah, setengah lainnya untuk dibagi kepada yang berjaga. Kolobi menganggap uang hasil pungutan dari mobil yang muat babi dan anjing haram baginya, karena itulah ia mengingatkan kedua rekannya dengan tegas.
Sore telah tiba, Kolobi sudah balik ke pos penjagaan. Sesampainya di sana, ia menanyakan uang hasil jaga.
“Uang dari mobil babi dan anjing ini, dari mobil penumpang itu,” ucap salah seorang rekannya sembari menunjukan letak uang.
Uang dari mobil penumpang hanya 20 ribu, hasil dari mobil babi dan anjing 200 ribu. Dengan keadaan seperti itu, tentu Kolobi akan mendapat hasil bagi yang minimalis.
“Hiii! Kalau begitu campur saja!” Kolobi mengatakan itu sambil mencampur uang itu segera.

Bapak Anak Sama Saja
Seminggu sebelum Idul Fitri, penduduk desa biasanya membersihkan rumah dan mengecat rumah. Begitu pula Kolobi.
Hari itu, saat sedang mengecat, seorang debt collector datang ke rumahnya. Tak lain dan tak bukan untuk menagih utang Kolobi yang sudah tiga bulan ditunggak. Permasalahannya (bagi si kolektor, bukan Kolobi), ini pertama kali dia akan menjumpai Kolobi. Sebelumnya, dia tak pernah tahu macam apa rupa si Kolobi.
Di muka rumah, si kolektor mengucap salam dan bertanya sopan.
“Permisi, Pak Kolobi adakah?”
Kolobi langsung pasang muka datar dan menjawab cepat, “Sedang tidak ada.” Tak jauh dari situ, anak Kolobi sedang bermain, agar lebih meyakinkan Kolobi bertanya kepada si anak.
“Bella, Papa di mana?”
“Papa sedang di luar.”
Kolektor itu pun meninggalkan rumah dengan tangan kosong.

Tragedi Azan Subuh


Tak hanya di Papua dan Maluku, mop sebenarnya juga bertebaran di Sulawesi Utara, terutama di kalangan Suku Minahasa, Sanger, dan Mongondow. Cerita-cerita lucu itu rata-rata mirip satu sama lain, bahkan ada yang mirip betul dengan mop Papua, dengan nama yang berbeda saja. Mop orang Minahasa misalnya, akan menggunakan nama-nama tokoh seperti Tole, Waseng, Mince, Nyong, atau Noni. Sementara di Sanger, ada nama-nama Ungke, Utu, Wawu, dan Alo’. Sedangkan Uyo’, Anu’, dan Lengkebong beredar dalam cerita-cerita Mongondow.
Saya berasal dari Mongondow, dan berikut kisah-kisah lucu daerah saya tersebut.
Lagu Garuda Pancasila
Lengkebong duduk di bangku SD kelas 4. Usianya baru 10 tahun. Pada suatu Jumat, Ibu Titing si wali kelas mengumpulkan semua siswa, termasuk Lengkebong.
“Sebelum torang libur, Ibu mau kasi tau. Senin nanti, torang pe kelas dapa pilih jadi kelompok penyanyi pas upacara,” kata Wali Kelas.
“Horeeeeee!” anak-anak berteriak girang, sementara Lengkebong hanya menguap.
“Jadi, hari ini, sebelum pulang, torang latihan manyanyi dulu,” ajak Wali Kelas.
Setelah beberapa kali latihan lagu kebangsaan “Indonesia Raya”, tiba saatnya untuk lagu bebas.
“Ngoni samua hapal lagu ‘Garuda Pancasila’?” tanya Wali Kelas.
Anak-anak kompak menjawab, “Iyooo!”
Lengkebong kembali menguap.
Ibu Titing kemudian menyuruh anak-anak bernyanyi, tentu saja dengan aba-aba kedua tangannya.
“Garuda Pancasilaaa … silaaa ….”
Ibu Titing mengernyitkan dahi. Ia seperti mendengar ada suara yang serupa gema. Ia kembali memberi isyarat dengan tangan.
“Garuda Pancasilaaa … silaaa ….”
Hal serupa kembali terjadi, Ibu Titing makin heran.
“Kenapa ada suara macam gema bagitu e?”
Anak-anak hanya bertukar pandang. Sekali lagi, Ibu Titing menyuruh anak-anak bernyanyi, dan gema itu terdengar lagi. Bagian sila itu selalu telat.
Penasaran, Ibu Titing kemudian menyuruh satu per satu anak menyanyi di depan kelas. Ia bermaksud menyeleksi.
“Coba ngana, Anu’,” katanya kepada seorang anak perempuan.
Anu’ kemudian maju ke depan kelas dan bernyanyi.
“Garuda Pancasilaaa. Akulah pendukungmuuu ….”
Anu’ berhenti setelah diberi aba-aba oleh Ibu Titing.
“So bole. Coba ngana, Uyo’.”
Kali ini seorang bocah laki-laki maju. Dan seperti Anu’, Uyo’ lancar-lancar saja. Demikian pula anak-anak lainnya. Hingga tiba giliran Lengkebong.
“Sekarang ngana, Lengkebong.”
Gontai Lengkebong maju ke depan kelas. Setelah mendapat aba-aba dari Ibu Titing, Lengkebong mulai menyanyi.
“Burung Garuda Pancasilaaa ….”
Sontak saja tawa menebal di ruang kelas.
Anak TK
Anu’ girang karena ia mulai masuk TK. Selama sepekan, ibunya kerap mengantar Anu’ ke TK Siti Masita yang hanya berjarak sepelempar bola kasti. Selain diberi bekal makanan dan kue, Anu’ juga sering diberi jajan seribu rupiah. Uang itu bisa dipakai Anu’ untuk membeli makanan ringan yang ia suka.
Setelah yakin Anu’ bisa pergi sekolah sendiri, ibunya dengan lembut bertanya, “Anu’ so bole pigi sekola sandiri?”
Anu’ yang mungil dan berlesung pipit itu tersenyum sembari mengangguk.
“Betul, so brani?” Ibunya mengulang kembali pertanyaan. Sebenarnya ibunya tidak khawatir jika Anu’ berangkat ke TK sendirian. Sebab dari rumah menuju TK, Anu’ hanya menyeberangi tanah lapang, bukan jalan raya.
“Iyo, co boye (so bole),” jawab Anu’.
Mendengar jawaban Anu’, ibunya kemudian hanya mengantar putrinya itu sampai di beranda. Anu’ diberi jajan seribu rupiah, yang dimasukkan ibunya ke saku seragam. Pandangan ibunya terus membuntuti Anu’, sampai anak itu selamat mencapai gerbang TK.
Hari berikutnya, seperti biasa ibunya memberi jajan kepada Anu’. Masih dengan jumlah yang sama: seribu rupiah. Kali ini ibunya tidak lagi mengekori langkah Anu’.
Di tengah perjalanan, tanpa disadari Anu’, uang jajannya terjatuh. Sesampainya di TK, ia segera masuk ke kelas. Pelajaran menghitung dimulai.
“Anak-anak, kalu tiga ditambah tiga, berapa?”
“Enaaammm!” kompak anak-anak menjawab termasuk Anu’.
Setelah puas dengan berhitung, Ibu Guru itu coba menaikkan level ke perhitungan uang. Ia mengambil beberapa koin dan uang kertas seribuan.
Anak-anak cepat tanggap dengan maksudnya. Hampir semua pertanyaan sederhana terjawab, seputar penambahan koin ratusan dan uang kertas seribuan. Ibu guru sengaja memakai alat peraga koin dan seribuan, sesuai kemampuan berhitung anak-anak.
Tiba-tiba terdengar suara tangisan. Dan anak yang menangis itu … Anu’.
“Kiapa sayang?” Ibu Guru mendekat lalu mengelus-elus rambut Anu’.
“Anu’ pe jajan calibu (seribu) ilang.”
Ibu guru kemudian mengambil selembar uang seribu yang dijadikannya alat peraga barusan.
“Napa, ibu tukar jo?” tawar Ibu Guru kepada Anu’.
Anu’ dengan malu-malu, mengambil uang pemberian ibu guru. Tapi … Anu’ masih menangis.
Ibu Guru tampak heran. “Kiapa manangis ulang, Anu’ sayang?” Tapi Anu’ terus menangis.
“Anu’ sayang, kan ibu guru so tukar tu doi yang ilang? Kiapa masih manangis, sayang?”
Sesenggukan Anu’ menjawab.
“Bagini … co dua libu (so dua ribu).”
Ramadan dan Durian
Di kampung saya, Desa Passi di Kabupaten Bolaang Mongondow yang masih bermimpi talak tiga dari Sulawesi Utara itu, musim durian selalu datang bersamaan dengan Ramadan. Tapi itu dulu, ketika saya masih dikejar Ibu dengan lelehan bubur pisang. Ketika musim durian sudah tak tentu seperti sekarang, masih terkenang sejumlah cerita lucu tentang Ramadan dan musim durian. Cerita berikut setiap tahun menjadi bahan bualan kami ketika nongkrong di posko Ramadan desa.
Alkisah, ada pohon durian yang menjulang tinggi dan berdampingan dengan masjid desa. Pohon itu berbuah lebat dan matang tepat di pertengahan bulan puasa.
Ada seorang bapak yang dipercayakan menjadi imam masjid kala itu. Ia sering dipanggil Papa Midi.
Pada suatu subuh, setelah bersantap sahur, Papa Midi segera menuju masjid. Sang imam ini sama halnya dengan penduduk lainnya, doyan makan durian.
Sesampainya di masjid, yang selalu sepi di pertengahan Ramadan, sang imam memilih menghabiskan selinting rokok kreteknya dulu sebelum masuk ke masjid. Menurut cerita, peristiwa ini terjadi medio ’70-an, dan satu-satunya penerangan berasal dari lampu minyak.
Saat asyik merokok, Papa Midi tergoda menuju pohon durian di samping masjid. Setiap siang, ia memang suka mengecek kalau ada buah jatuh. Subuh itu, berbekal cahaya korek api, ia tidak menemukan apa-apa.
Setelah dongkol dan rokok di jepitan jemari pupus, Papa Midi melangkah masuk ke masjid. Ia merapat ke jam tua seukuran piring yang menempel di dinding papan. Masjid kala itu masih dibangun dari papan. Bahkan jendela lebarnya tanpa daun jendela. Hanya sekali lompat, seketika posisi kita sudah berada di luar masjid.
Sudah waktu untuk mengumandangkan azan, gumamnya setelah melirik jam. Papa Midi kemudian berteriak mengumandangkan azan, sebab masjid kala itu belum difasilitasi pengeras suara.
“Allaaahu akbar allaaaaaahu akbar!” Baru saja ia memulai azan ketika … kraaaak! Terdengar bunyi durian jatuh.
Sang muazin kaget. Tak ingin ada yang mendahuluinya, ia segera mengakhiri azan, “Laa ilaaha illallaah!”
Setelah itu, sang muazin melompati jendela.

Horor! Saya Mengalami Kejadian Aneh Saat Bermalam di Hotel

Seperti pengalaman horor di hotel yang saya alami. Dari luar, kondisi hotel yang saya tempati tidak ada masalah dan tidak ada keanehan sama sekali. Tapi entah kenapa saya merasa agak aneh ketika kaki melangkah masuk ke dalam lobi. Saya hanya berpikir bahwa kondisi badan saya lelah karena capek setelah melakukan beberapa aktivitas.
Setelah mendapatkan kunci kamar, saya pun bergegas menuju kamar untuk istirahat. Tapi tetap saja saya masih merasa tidak enak badan. Saya mencoba merebahkan badan sejenak di kasur dan kemudian berniat untuk membersihkan badan.
Hari pun mulai gelap, saya memutuskan untuk mandi. Berharap semua rasa capek yang saya rasakan hilang. Setelah saya selesai mandi, saya pun keluar dan merasa terkejut lantaran saya melihat semua gorden dan jendela terbuka. Sehingga angin pun dengan bebas masuk ke dalam kamar, karena sudah magrib saya pun bergegas menutupnya.
“Jederrrrrr…….!” Saya pun terperanjat kaget ketika mendengar pintu kamar mandi tertutup dengan keras. Kali ini bulu kuduk saya benar-benar berdiri. Saya menatap ke arah kamar mandi sejenak sebelum membuka kunci kamar dan keluar.
Saya menceritakan kepada teman saya tentang kejadian yang baru saja saya alami dan menayakan kepadanya juga apakah dia yang membuka semua jendela dan korden kamar? Tapi teman saya hanya menjawab bahwa dia baru saja datang ke hotel dan belum masuk ke dalam kamar. Lalu siapa yang membuka gorden dan jendela?

Mungkin, Kamu pun pernah mendengar, suara berisik di tengah malam yang tak diketahui dari mana asal muasalnya

Terkadang saya malas untuk menghiraukan keadaan sekitar saat bermalam di hotel. Terlebih bila kondisi badan sudah lelah. Setelah masuk ke dalam kamar, hal yang saya pikirkan adalah tidur. Tapi naas, malam itu saya tidak bisa tidur.
Berbagai hal saya lakukan, mulai dari chat sama teman-teman, mendengarkan musik hingga membaca buku. Biasanya, bila mata saya capek maka akan terpejam dengan sendirinya. Saya melirik jam pada layar smartphone saya. Tak terasa sudah jam 12 malam.
Ketika mata sudah mulai berat, saya meletakkan buku yang saya baca dan tidur. Baru memejamkan mata, saya pun terpaksa membuka mata dan bangun. Saya mendengar suara anak-anak bergurau kencang sekali. Saya diam dan mencoba mencari sumber suara tersebut. Semakin kencang dan semakin berisik.
“Duh, ini anak, mak bapaknya kemana sih? Jam segini belum tidur malah berisik!”
Saya bergumam meluapkan kekesalan. Pertama saya masih bisa sabar, lama-lama saya merasa teganggu karena semakin berisik dan gaduh. Dengan sedikit rasa kesal, saya menelpon receptionist. Agar pihak hotel yang menegur tamu sebelah. Tapi informasi dari pihak hotel justru membuat saya semakin kaget.
“Maaf Ibu, sebelah kamar Ibu sudah melakukan check-out tadi siang, dan sekarang kosong.”
Lalu siapa yang berisik malam-malam begini? Sampai pagi menyingsing saya tidak mendapatkan jawabannya.

Yang paling menyeramkan, ketika harus bertatap muka dengan makhluk yang harusnya tak kasatmata

Pengalaman aneh yang saya alami bersama seorang teman di suatu hotel di Belitung selalu menjadi obrolan menarik. Entah kenapa setiap kali bertemu dengannya, kami semangat membahas hotel tersebut yang menurut kami itu adalah hotel teraneh.
Saat itu, saya dan Marisa tidak ikut peserta lainnya untuk mengikuti penutupan event. Kami sudah capek, dan saya sendiri menderita radang tenggorokan. Dari sore kami hanya melakukan kegiatan di kamar, saya tidur begitu juga Marisa. Sekitar jam 10 malam, saya terbangun dan saya mendapati Marisa sedang memainkan smartphone miliknya.
Kami pun ngobrol dan saya mengajak dia untuk keluar ke lobi karena bosan di kamar. Tanpa pikir panjang Marisa pun mengiyakan ajakan saya. Setelah puas di lobi, kami pun masuk ke dalam kamar dan saya berkata padanya “Sepertinya aku akan susah tidur deh, seharian tidur kebangun jam segini.” Marisa hanya terkekeh. Setelah itu saya pun tidak ingat apa-apa.

***

Malam itu, pada saat kami masuk ke dalam kamar, rupanya saya sudah terlelap sejak badan saya menyentuh kasur. Sementara Marisa justru tidak bisa tidur dan berusah tidur sambil bermain handphone. Namun tiba-tiba dia melihat sosok wanita putih berada tepat di bawah kaki saya. Berdiri dengan rambut panjang yang terurai dan posisi kepala yang menunduk.
Sontak Marisa pun kaget dan teriak. Tapi, saya tidak merespon teriaknnya dan masih terlelap dalam tidur. Ibarat mimpi buruk dia pun segera memejamkan mata dan komat-kamit membaca doa-doa. Malam itu seolah menjadi malam terburuk untuk Marisa dan rasa aneh yang saya rasakan sejak menempati kamar tersebut pun terjawab sudah.

Namun, inilah puncaknya, suara-suara horor yang mencekam dan membuat kami terdiam

Rasanya aneh ketika saya dan keluarga memutusakan untuk memesan hotel saat berlibur di salah satu tempat wisata di Purwokerto. Harga kamar yang saya pesan tidak terlalu mahal dan tidak terlalu murah. Fasilitasnya pun lumayan menurut saya. Sama seperti hotel-hotel pada umumnya yang terletak di sekitar area wisata.
Musim liburan membuat hotel yang kami tempati ramai. Saya pun merasa bahwa sebelah kanan dan kiri kamar saya dihuni tamu lain. Malam itu, saya tidur bersama kakak saya, dan anggota keluarga lain berada di kamar yang berbeda.
Di tengah-tengah gurauan kami, tiba-tiba terdengar suara aneh dari kamar sebelah. Sontak kami pun menghentikan obrolan. Namun, setelah kami diam justru suara itu hilang. Seolah tak menghiraukan kami pun melanjutkan ngobrol lagi hingga suara dari kamar sebelah terdengar jelas.
“Suara apa sih itu kak?” Karena penasaran, saya pun bertanya kepada kakak saya dan dia hanya menaikkan bahu, memberikan isyarat bahwa dia pun tidak tahu itu suara apa?
“Ah..ah…ah…ah….sudah mas….!”
Sontak saya dan kakak saya saling memandang dan kemudian kami pun terkekeh mendengar suara tersebut makin kencang.

Kalau Adam dan Hawa Orang Minahasa, Kita Pasti Masih Tinggal di Surga


Akhir Juli dan awal Agustus jadi pekan yang menyibukkan bagi saya. Baru saja kembali dari Kota Manado yang berada di lengan Pulau Sulawesi pada pertengahan Juli, saya harus melanjutkan perjalanan ke kaki Sulawesi, tepatnya ke Kota Makassar. Mudah-mudahan tidak lanjut ke selangkangan, eh!
Ada beberapa agenda pertemuan yang tak perlu dibentang di sini. Dari pertemuan-pertemuan itu, telinga saya kerap kali menangkap mop yang dituturkan kengkawan-kengkawan dari pelosok negeri. Berikut kisah-kisahnya.
Untung Adam dan Hawa Bukang Orang Minahasa
Pagi itu kami bergegas ke Pasar Beriman di Kota Tomohon, Sulawesi Utara, yang juga dijuluki Pasar Ekstrem.
Dari Kota Manado, jaraknya hanya 30-an menit. Di pasar tersebut di-display berbagai macam daging binatang. Bagi pengunjung yang belum terbiasa, harus kuat imannya. Mungkin itu alasannya pasar itu dinamakan Pasar Beriman.
Di sana kita bisa temui daging kelelawar, tikus hutan, anjing, kucing, babi hutan, hingga ular sanca yang nama lokalnya ular patola.
Saat perjalanan menuju pasar itulah, di dalam mobil, salah seorang kawan saya menceritakan mop yang terkait dengan kunjungan kami kali ini. Sebut saja nama kawan itu Fay.
“Ngoni so pernah dengar ini mop tentang ular patola?” tanya Fay. Saya sendiri sudah berkali-kali, tapi kengkawan semobil lainnya yang berasal dari Jambi, Bantaeng, Lembata, dan Maluku belum pernah mendengarnya.
“Oke, lanjut cirita saja!” kata saya.
“Begini, torang manusia kan punya nenek moyang itu Adam dan Hawa, dorang dua tinggal di surga to?”
“Ya, ya, ya,” kata kawan dari Maluku.
“Kenapa mereka berdua dibuang ke bumi? Lantaran iblis yang berubah jadi ular goda to?”
“Iya, baru dorang dua makang buah apel di pohong terlarang,” sambung kawan dari Lembata.
Gayung bersambut, Fay segera menuntaskan mopnya, “Nah, coba kalu Adam dan Hawa itu orang Minahasa. Pasti yang ada makang bukang apel, tapi ularnya! Dan kitorang manusia masih tinggal di surga.”
Sontak seisi mobil riuh dengan tawa. Saya yang sudah pernah mendengar mop itu pun masih tergelitik dan ikut tertawa.
Pancasila Ada Berapa Sila?
Mop kali ini diceritakan kawan dari Larantuka. Kawan ini menceritakannya ketika kami sudah berada di Kota Makassar.
Sebut saja nama kawan ini, Om Bin. Ketika itu, ada sesi tanya jawab pada acara bertema lingkungan hidup. Om Bin menyisipkan satu mop sebelum mulai bertanya. Ice breaking, katanya.
“Ada teman saya pergi bertemu Pak Camat,” Om Bin mulai bercerita.
“Kemudian, saat bertemu Pak Camat, teman saya ini ditanyai, ada berapa sila di Pancasila?”
“Teman saya itu menjawab tiga. Ia kemudian ditampar Pak Camat,” lanjut Om Bin.
“Setelah itu teman saya pulang, lalu bertemu dengan saya. Ia kemudian bercerita, Pak Camat baru saja menamparnya.”
“Itu kenapa? Saya bertanya. Lalu kata teman saya, Pak Camat bertanya berapa sila di Pancasila. Ternyata teman saya menjawab tiga. Karena itulah dia ditampar,” kata Om Bin.
“Saya kemudian bilang, kenapa tidak dijawab lima. Lalu teman saya menyahut, tiga saja sudah ditempeleng, apalagi dijawab lima!”
Om Bin sukses membikin seisi ruang pertemuan membahana oleh tawa peserta.
Kuda Muntah
Kali ini mop datang dari teman saya asal Palu. Saya ganti namanya jadi Mawar saja, eh, kerna dia laki-laki, sebut saja Mukmun.
Mukmun mengisahkannya saat perjalanan menuju kawasan karts di Rammang-Rammang, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Dari Kota Makassar jaraknya hanya sejam naik bus. Mukmun teringat mop ini kerna melihat tugu jagung yang kami lewati.
Di dalam bus, Mukmun bercerita, suatu hari ada orang Manado bertemu orang Makassar bertemu di perjalanan dalam sebuah mobil.
“Orang Makassar bertanya kepada orang Manado … kalu di Manado apa nama makanan favorit di sana?” tutur Mukmun.
“Orang Manado menjawab, kalau di tempat asalnya ada namanya Tinutuan dan itu ada campuran jagung.”
Mukmun serius bercerita, kendati bising lalu-lalang kendaraan sedikit meredam volume suaranya.
“Kase kuat sadiki bacirita!” teriak seorang teman di deretan kursi sebelah.
Mukmun mengeraskan suaranya, “Nah, orang Manado itu bilang, jagung juga makanan andalan di Manado. Tapi, orang Makassar itu bilang, kalau di Makassar, jagung itu buat makanan kuda.”
Ada beberapa kawan di dalam bus yang cekikikan.
“Orang Manado diam saja. Kemudian di tengah perjalanan ini orang Makassar mulai mabuk jalan. Kemudian ia muntah dan isinya jagung semua,” lanjut Mukmun.
“Orang Manado lalu teriak ke sopir, agar mobilnya disetop dulu. Sopir lantas bertanya, ada apa gerangan? Lalu kata orang Manado … ini ada kuda so muntah!”
Mukmun juga sukses membuat bus berguncang.
Malam Pertama
Dua kisah berikut, meski bukan panenan mop dari perjalanan Manado—Makassar tadi, hendaknya bisa menjadi pamungkas mop kita kali ini. Keduanya tentang Alo’ dan Mince.
Setelah lama berpacaran, akhirnya Alo’ dan Mince memutuskan menikah. Pernikahan mereka dihelat begitu sederhana.
Usai prosesi pernikahan, malam harinya Alo’ dan Mince akan menikmati malam pertama. Itu malam yang ditunggu-tunggu. Maklum, mereka berdua selama pacaran memang berkomitmen untuk tidak berhubungan intim jika belum sah menikah.
Malam itu Alo’ tanpa sengaja memakai celana dalam yang dijahit dari karung tepung terigu. Alo’ memang hidup kekurangan, bahkan untuk menikah saja ia harus menabung selama tujuh tahun.
Setelah mereka berdua berada di dalam kamar, Alo’ mulai mencumbu Mince. Satu per satu pakaian tanggal dan berserakan di lantai.
“Ooo … Tuhan!” Tiba-tiba Mince teriak kemudian jatuh pingsan. Alo’ kebingungan.
Sampai akhirnya Alo’ sadar, Mince ternyata kaget melihat celana dalamnya yang tertulis: BERAT BERSIH 25 KG.
Behel
Setelah lama menikah dan memiliki putri satu-satunya berusia 5 tahun, Alo’ dan Mince mulai dibanjiri rezeki.
Warung kecil-kecilan mereka laris manis. Sampai akhirnya mereka bisa membeli dua buah ruko. Kehidupan mereka pun akhirnya sejahtera.
Pada suatu malam Alo’ mengajak Mince masuk ke kamar.
“Mince sayang, manjo kwa ka kamar.”
“Sabar kwa, sadiki le,” jawab Mince.
Raut wajah Alo’seperti menuntut, “Sayang, mari jo kwa!”
Akhirnya Mince tidak bisa menolak bujukan suaminya itu, “Manjo dang, sayang.”
Mereka berdua bergegas menuju kamar. Kebetulan anak mereka sudah pulas.
“Sayang, coba kase mati tu lampu,” pinta Alo’.
Mince beranjak lalu memadamkan lampu.
Setelah lampu padam, terdengar suara Alo’, “Mince sayang, coba ngana lia ne kita pe behel … glow in the dark.”
“Ku**cu** deng ngana, Alo’. Jadi cuma mo kase tunjung akang ngana pe behel dang?”
Tinju Mince melesat ke “biji” Alo’.

Nyamannya Kalau Punya Uang, Ya


Ke Warung Coto
Masih ingat Irahing kan, kawan-kawan? Yap, donnya SD Banna’ satu itu. Selama ini kita dapati sebuah pepatah “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”. Agaknya hal ini berlaku untuk Irahing.
Di suatu sore yang cerah bapak Irahing, Daeng Sangkala, tetiba mengajak anaknya keluar rumah. Irahing yang penasaran pun bertanya.
“Mauki ke mana, Pak?”
“Ikut mako saja deh, jangan mako banyak tanya (ikut saja, tidak usah banyak tanya).”
Setelah berjalan kaki sekira 15 menit, tibalah mereka di sebuah warung coto. Irahing semringah mendapati dirinya berada di sana. Maklum, uang untuk makan siang tadi tandas di sebuah rental PS.
“Daeng, ada dagingkah?” Tanya Daeng Sangkala kepada penjual coto sedetik setelah menyibakkan tenda penutup warung.
“Adaji, Daeng,” jawab penjual coto.
“Kalau paru?”
“Ada tonji (juga).”
“Kalau ati, iya?”
“Bah, adaji juga, kenapaikah?”
Daeng Sangkala lalu mengalihkan wajahnya, menatap anaknya Irahing dengan pandangan yang sungguh.
“Rahing, nyamanna di’ kalau ada uang (Rahing, enak ya kalau ada uang).”

Beli Coca Cola
Malam harinya, demi mengobati kekecewaan Irahing yang tidak jadi menikmati semangkuk coto, Daeng Sangkala berniat menebusnya dengan menraktir seluruh anggota keluarga minum Coca Cola. Maka, setelah makan malam Daeng Sangkala memanggil anak kesayangannya itu.
“Rahing … sini, Nak, ini uang pergi ko beli Coca Cola di warung depan. Satu untuk Bapak, satu untuk Mamak, satu untuk Kakak, terus satu untuk kau. Jadi, berapa semua Coca Colana?”
“Tiga, Bapak.”
“Bapak ulang nah. Satu untuk Bapak, satu untuk Mamak, satu untuk Kakak, terus satu untuk kau. Jadi, berapa semua Coca Colana?”
“Tiga, Bapak.”
“Rahing … Rahing … dongo’mu itu! Apaji ko belajar di sekolah? Coba ko hitung lagi, kalau salah lagi Bapak cubit ko nah. Satu untuk Bapak, satu untuk Mamak, satu untuk Kakak, terus satu untuk kau. Jadi, berapa semua Coca Colana?” Kali Daeng Sangkala emosi.
“Tiga, Bapak.”
“Dongo’ mentong kau, Rahing,” Daeng Sangkala lalu mencubit Rahing dan kembali bertanya, “Berapa semuanya!?!”
Sambil tersedu-sedu disebabkan sakit yang ia terima dari cubitan bapaknya, Irahing menjawab.
“Tiga ji (saja) Coca Cola, Bapak. Mauka minum Fanta, saya (saya mau minum Fanta).”

Pesan Mamak
Keesokan harinya, disebabkan hari Minggu dan waktunya anak SD seperti Irahing libur sekolah mamak Irahing, Daeng Te’ne, memberi mandat kepada Irahing untuk membawakan paket berisi pakaian, camilan, dan berbagai jenis oleh-oleh khas Makassar kepada neneknya di kampung. Daeng Te’ne kemudian mengantar Irahing menuju terminal demi mencari mobil yang akan mengantarkan anaknya. Setibanya di terminal, Daeng Te’ne langsung mewanti-wanti bapak sopir Panther.
“Pak Sopir, kasih duduk di depanki anakku nah, supaya kalo tidurki, kasih bangunki kalau sudah di Barru (kota yang letaknya 102 km di utara Makassar).”
“Iye’, Bu. Tenang maki,” jawab Pak Sopir meyakinkan.
Daeng Te’ne lalu berpaling ke anaknya. “Nak, jangan ko tidur nah.”
“Iye’, Mamak.”
Beberapa saat sebelum Panther berangkat, Daeng Te’ne kembali mewanti-wanti mereka berdua dan kembali disanggupi.
“Pak Sopir, ingatki nah, kasih bangun kalau di Barru, biasa itu dia tidur bela (soalnya).”
Di dalam perjalanan Irahing setiap lima belas menit bertanya.
“Pak Sopir, di Barru mi?”
“Belumpi ….”
Lima belas menit kemudian
“Pak Sopir, Barru mi inikah?”
“Belumpi, Nak”
Begitu seterusnya hingga Pak Sopir memperoleh inisiatif.
“Edede, tidur mako dulu, Nak. Nanti kalau di Barru kukasih bangun jako itu.”
Irahing akhirnya tertidur. Sangat pulas.
Lalu tanpa disadari Pak Sopir bablas menyetir sampai Toraja (321 km ke arah utara Makassar). Sopir pun panik karena baru ingat. Irahing masih terikut. Anak itu lupa dibangunkan.
Setelah berembuk bersama penumpang, akhirnya mereka memutuskan untuk balik haluan ke Barru demi menurunkan Irahing yang ketiduran.
Perjalanan panjang itu pun berakhir dan tibalah mereka di Barru.
“Oe, Nak, bangun mako, di Barru mi ini (sudah Barru ini).” Sang sopir menggoyang-goyangkan tubuh Irahing yang masih terlelap.
“Hmmm, iye’. Di Barru mi kah, Pak?” jawab Irahing yang masih setengah sadar sembari menggosok-gosok matanya.
“Iyo, adaji yang jemput ko?”
“Oooh, ndak ji, Om. Na bilang mamakku, kalau di Barru mi na suruhka makanki nasi dosku, nanti basi, mauka ke Toraja bela (Oh tidak apa-apa, Om, kata mamakku, kalau sudah di Barru aku harus makan nasi kotakku, biar nggak basi. Aku mau ke Toraja soalnya).”
Seisi mobil gempar.

Bunuh Diri
Sementara itu di Kota Makassar Daeng Sangkala menghabiskan minggu paginya dengan berjalan-jalan mengitari kota yang semakin pengap. Tibalah ia di sebuah jembatan bernama Jembatan Tello. Daeng Sangkala melihat seorang cewek cantik berdiri di atas jembatan seperti hendak melakukan sesuatu.
“Mau ko bikin apa, cewek?”
“Mau ka bunuh diri, Daeng!”
Ketika orang umumnya seharusnya terkejut mendengar hal itu, kalimat yang keluar dari mulut Daeng Sangkala sungguh mengejutkan.
“Kalo begitu kasih ka pale (saja) ciuman terakhirmu nah, mau ji to dek cium ka?”
Tanpa beban sama sekali, cewek itu mencium dengan penuh gairah. Daeng Sangkala pun senang dan bertanya lagi.
“Ciumanmu hot sekali, Dek. Kenapa ko mau bunuh diri? Cantikmu lagi baru, bodimu bagusna lagi, kan sayang to, Dek.”
“Sedihka, Daeng. Ka orang tuaku ndak mengerti perasaanku, Daeng.”
“Ih, kenapa bisa?”
“Na larang ka pake baju perempuan kodong, padahal ku suka ki (mau larang saya pakai baju perempuan, padahal saya suka).”
Daeng Sangkala menelan ludah lalu pergi seperti tidak terjadi apa-apa.

Perampokan
Sepulangnya Daeng Sangkala di rumahnya yang sederhana, para tetangga sudah berkumpul di salah satu rumah tetangganya. Sesuatu pastinya telah terjadi.
Dengan semangat jiwa korsa sepertetanggaan Daeng Sangkala membelah kerumunan dan langsung masuk ke rumah tuan rumah.
Usut punya usut, telah terjadi perampokan di rumah itu. Daeng Sangkala lalu mencari Daeng Ngitung, janda pemilik rumah tersebut.
“Kenapa bisa, Dek?” cecar Daeng Sangkala.
“Waktu itu lagi masak ka di dapur kodong ….” Daeng Ngitung menjawab dengan wajah masih dipenuhi kepanikan.
“TV ta (kamu) hilang, baru diam-diam jako?”
“Iye’, maumi diapa, daripada na bunuh ka.”
“Motor ta hilang, diam-diam jako juga?”
“Iye’, na ancam ka (saya) kodong.”
“Uang ta juga na ambil semuaki, diam-diam jako juga?”
“Iye’, nda bisaka melawan kodong.”
“Jangan-jangan diperkosa ko juga?”
“Iye’ ….”
“Baru diam-diam jako jugaaa?!”
“Tidak nah! Goyang-goyang tonja sedikit iyaa (Tidaklah! Goyang-goyang juga sedikit)!”

Surat Sakit Puitis untuk Ibu Guru


Once upon a time … seorang bocah SD bernama Ungke lahir dan tumbuh di Kota Manado. Nama bocah ini sebenarnya keren: Stefanus Corneles. Cuma lantaran ini anak keturunan Suku Sangir (dari Sangihe, satu kabupaten di Sulawesi Utara), nama Ungke yang merupakan panggilan akrab untuk laki-laki Suku Sangir melekat kepadanya.
Ada beberapa mop tentang Ungke yang kerap kali dituturkan orang Manado dan sekitarnya. Ungke melegenda di kawasan Indonesia timur, dari ia kanak-kanak hingga kakek-kakek. Berikut beberapa mop tentang Ungke ketika dia bocah.
Pelajaran Sejarah
Ungke baru saja naik kelas 4 SD. Suatu pagi ia berangkat ke sekolah dan ketika sampai, semua siswa sedang apel di lapangan. Baru setelah itu satu per satu mereka dikandangin, eh, masuk kelas maksudnya.
Di kelas Enci’ (ibu guru) sudah menunggu mereka. Enci’ ini dikenal paling rajin serajin-rajinnya rajin di antara semua guru. Karena itu dia selalu lebih dulu berada di kelas, mendahului para siswa.
Pelajaran dimulai dengan pertanyaan.
“Anak-anak masi inga to pelajaran di kelas-kelas sebelumnya soal pahlawan nasional. So talalu le kalo so lupa (terlalu kalau sampai lupa). Enci’ mo tes tanya ulang sekarang.”
Pandangan Enci’ menyapu seisi kelas, kemudian berhenti di bangku Ungke.
“Ungke kenal Wolter Mongisidi?” tanya Enci’.
“Nyandak no,” jawab Ungke polos.
“Kalo Sam Ratulangi?”
“Kita nintau le.”
“Bagimana lei ngana ini? Samua ngana nintau. Ndak ja blajar ngana kang?”
Mendengar perkataan Enci’, Ungke balik bertanya.
“Enci’ kenal Eges Pinontoan, Mul Rumengan, deng Eling Sondakh?”
“Nyandak no Ungke … Sapa dorang itu?” tanya Enci’ dengan kedua alis yang tampak saling merangkul saking herannya.
“So itu no Enci’. Kita le ndak kenal nama-nama yang Enci’ tanya-tanya tadi. Samua kan ada kenalan masing-masing to?”

Benua Australia
Bukan hanya soal pahlawan nasional yang jadi masalah di kelas. Enci’ yang mengajar IPS tadi pun menemui masalah lain. Kayaknya memang itu Enci’ sedang sial.
Masalah itu diceritakan kembali oleh Ungke kepada bapaknya sepulang sekolah.
“Enci’ marah-marah pa Ungke tadi,” lapor Ungke.
“Kiapa le?” tanya bapaknya, yang sudah tidak heran lagi dengan laporan semacam itu.
“Enci’ tanya … ‘Di mana letaknya Benua Australia?’ Kong Ungke nintau,” cerita Ungke.
Bapaknya mendengus lalu berkata, “So itu ngana. Kalo bataru barang inga-inga (kalau taruh barang ingat-ingat).”

Surat Sakit
Setelah kejadian itu, Ungke tidak masuk sekolah selama tiga hari. Ia akhirnya mau sekolah setelah dibujuk bapaknya.
Sesampainya di sekolah Ungke ditanyai wali kelasnya.
“Kiapa Ungke ndak maso-maso?”
“Ungke ada saki … uhuk! Uhuk!” jawab Ungke sambil pura-pura batuk.
“Kalo saki kirim surat izin ne,” kata wali kelas.
“Percuma le mo kirim surat. Ibu guru le ndak mo balas.”

Ikut Les
Lantaran Ungke ketinggalan beberapa mata pelajaran, Enci’ memberikan les khusus untuk siswa yang ketinggalan mata pelajaran. Selain Ungke, ada Utu, Alo, dan Tole. Les diberikan di sekolah pada sore hari.
Pertama kali hadir Alo dan Utu. Sementara Ungke dan Tole sudah hampir setengah jam tak kunjung datang.
“Ngoni dua ndak dapa lia pa Ungke deng Tole (kalian berdua nggak lihat Ungke dan Tole)?” tanya Enci’.
“Tadi pulang sekolah, dorang dua baramain palinggir (layang-layang),” kata Alo.
“Memang nakal laeng itu anak dua itu,” Enci’ menggerutu.
Setelah sepuluh menit lagi menunggu, akhirnya yang disebut-sebut datang.
“Kiapa ngoni dua terlambat?” tanya Enci’ kesal.
“Tadi kita baku dapa deng ibu pendeta. Trus ibu pendeta minta tolong suruh ambe kunci gereja dapa tinggal di rumah,” kata Tole.
“Kong ngana dang, Ungke?”
“Pas Tole mo ambe kunci gereja, dia pangge le pa kita.”
Mendengar alasan kedua bocah tengil itu, Enci’ tak bisa berbuat apa-apa selain segera memulai les.

Bersiul
Meski telah mengikuti les beberapa kali, Ungke masih sering membikin kesal Enci’. Beberapa soal yang ditanya Enci’ dijawab salah oleh Ungke.
“Ngana ini biongo (bodoh) memang!” teriak Enci’ di kelas.
Ungke ditertawai teman sekelasnya.
Sepulangnya dari sekolah Ungke kembali melapor kepada bapaknya.
“Pa’, tadi Ungke, Enci’ kase bataria (berteriak) akang biongo,” tuturnya.
“Mar Enci’ nyandak pukul to?” selidik bapaknya yang merasa khawatir.
“Ndak pukul. Cuma dapa kase bataria bagitu.”
“Biar ndak pukul, mar nimbole Enci’ kase bataria bagitu. Papa’ nyandak terima! Besok Papa’ ka sekolah!”
Esoknya, Ungke ditemani bapaknya ke sekolah. Bapaknya pergi mencari Enci’ yang mengatai anak kesayangannya itu.
Setelah bertemu Enci’ yang dimaksud bapak Ungke segera melemparkan pertanyaan.
“Kiapa Enci’ bilang biongo kita pe anak?”
Enci’ itu tampak pucat. Seluruh guru di sekolah dan siswa-siswi berkerumun.
“Kalo memang Enci’ pande, sekarang kita tes pa Enci’!” kata bapaknya.
“Mo … mooo … tes apa?” tanya Enci’ itu gugup.
“Coba Enci’ tulis ini!” Bapak Ungke lalu bersiul.
Semua orang menggaruk kepala secara berjamaah.
Like father, like son ….

Surat Sakit Bagian II
Setelah berkali-kali beralasan sakit, akhirnya Ungke asli sakit.
“Pa’ …,” panggil Ungke dari kamar.
Bapaknya segera menuju kamar, “Kiapa le?”
“Ungke barasa demam.”
Telapak tangan kanan bapaknya segera mendarat di jidat anak satu-satunya itu.
“Keode’, saki butul ngana ini.”
“Tulis akang surat izin saki pa ibu guru. Supaya ndak mo dapa marah ulang,” pinta Ungke.
Bapaknya yang lihai merayu ibunya ketika masih pacaran dengan surat-surat cinta puitis lantas menulis surat izin sakit versi puisi.
Di pagi yang cerah
mentari menyembul dari punggung bukit
kembang-kembang mekar di taman
tapi ada satu kembang yang layu …
Ungke yang layu.

Barang Kotor
Libur sekolah akhirnya tiba. Ungke bersama bapak dan ibunya berlibur ke kampung halaman di Sangihe. Mereka berkunjung ke rumah oma dan opa dari sebelah bapaknya.
“Ado, so basar Oma pe cucu ini e,” kata Oma saat kali pertama melihat Ungke. Oma juga mencubit pipinya Ungke.
“Makang dulu sana. Ada ubi rubus deng ikang bakar,” kata Oma.
Ungke segera berlari menuju dapur.
Saat makan, tetiba bagian kepala ikan bakar yang sedang diemut-emut Ungke jatuh. Ungke baru saja mau memungut, tapi teriakan Oma mengagetkannya.
“Ndak usah punggu. Kalo barang so ciri (jatuh) so kotor itu,” kata Oma.
Ungke menuruti perintah Omanya.
Setelah makan, Ungke menuju halaman belakang, melihat-lihat pantai. Tetiba Oma yang sedang membawa piring kotor ke tempat cucian piring terpeleset dan jatuh.
Opa yang melihat kekasihnya itu terjatuh segera menolong mengangkat Oma.
Melihat itu Ungke segera berteriak, “Opa, kalo barang so ciri ndak usah punggu. So kotor!”

Bayangan Makhluk Misterius di Kebun Kelapa


Ada satu kisah saat Pak Haji masih muda dulu. Saat itu beliau masih berpacaran dengan seorang gadis yang kini telah menjadi istrinya itu. Kala itu pacarnya tinggal di kampung sebelah yang jalan menuju ke sana dari kampung Pak Haji masih berupa jalan setapak dan melewati hutan. Karena selalu kangen, minimal dua kali seminggu Pak Haji bertamu. Biasanya naik sepeda, kadang jalan kaki melewati kebun kelapa.
Suatu hari pak Haji nge-date ke rumah pacarnya. Saking asyiknya bercerita, ia kebablasan hingga malam. Biasanya pulang sebelum senja, sekarang sekitar pukul sembilan malam baru jalan pulang. Walau sedikit takut, berani saja karena malam itu bulan agak sedikit terang, sedangkan lampu jalan sudah tentu masih barang asing.
Pak Haji mulai jalan. Sepanjang perjalanan aman-aman saja, bahkan ketika melewati hutan. Namun, ia terkejut bukan main ketika tiba di kebun kelapa di ujung kampung. Pak Haji melihat ada bayangan besar setinggi enam meter di pinggir jalan.
Celaka kita, Pak Haji membatin.
Tanpa tunggu lama, berbekal doa-doa yang dihafal, ia langsung komat-kamit dan meniup ke arah bayang-bayang itu. Tidak mempan. Ia lanjut baca mantra lain yang diarahkan ke sebuah batu, lalu melempar ke arah bayangan itu. Tidak mempan. Bergerak pun tidak. Ulang-ulang, segala doa pak Haji bacakan, tidak mempan juga.
“Astaga. Ini barang dia kuat sekali e. Sial, apa ini?” ucap pak Haji sambil balik arah.
Ia tidak berani melanjutkan perjalanan, tidak mau ambil risiko jika nanti harus gulat dengan suanggi sebesar itu. Pak Haji memutuskan untuk balik menginap di kampung sebelah dan besok pagi saja baru pulang.
Pagi sekali, matahari juga baru pecah, Pak Haji akhirnya jalan pulang bersama beberapa warga yang hendak ke kebun. Saat tiba di kebun kelapa, di lokasi ia melihat bayangan raksasa semalam, Pak haji pukul jidat sambil geleng-geleng.
“Cukimai lebebaek e!!! Sial dobel-dobel e!!! Beeeh, binatang!” makinya kesal.
Bagaimana tidak, bayangan raksasa yang dikira suanggi oleh Pak Haji tadi malam ternyata sebuah eksavator milik perusahan yang teparkir.
Suanggi Tiang Listrik
Kisah-kisah mengenai suanggi begitu ada banyak di Halmahera. Tidak semua seram, banyak juga kisah humor suanggi seperti berikut ini.
Suatu malam, ketika purnama begitu sempurna, ada tiga suanggi berkumpul untuk menjalankan ritual: mencari tumbal. Ritual itu kadang menjadi ajang adu saing antarmereka. Siapa yang mendapat tumbal paling banyak dalam waktu singkat, ialah pemenang dan ilmunya makin tinggi dan kuat.
Suanggi pertama langsung terbang menghilang mencari tumbal. Sepuluh menit berselang, ia kembali dengan mulut penuh darah.
“Weeeh, ngana luar biasa!” ucap suanggi kedua dan ketiga.
Tiba giliran suanggi kedua. Tanpa basa-basi ia langsung mengudara dan cuuuz … enam menit kemudian kembali dengan mulut merah penuh darah pula.
“Weeeh, ternyata ngana lebih cepat e,” ujar suanggi pertama salut.
“Hahaha, sekali terbang dua mangsa saya santap tadi,” ujar suanggi kedua.
“Mantap! Mantap!”
Suanggi ketiga tak mau kalah. Ia langsung tancap gas terbang tinggi dan menghilang. Baru berselang dua menit, suanggi ketiga kembali dengan mulut penuh darah kental.
“Ampuuun, ngana pe cepat!!!” kata suanggi pertama.
“Luar biasa! Ngana juara! Dapat berapa mangsa?” tanya suanggi kedua.
“Cukimai! Dapat mangsa apa. Kita (saya) tra (tidak) lihat tiang listrik di ujung kampong sana,” keluh suanggi ketiga sambil memegang bibir penuh darah. Giginya patah akibat menabrak tiang listrik desa yang baru ditanam.
Pergi Berobat
Lupakan suanggi, mari kembali ke Pak Haji. Akhir-akhir ini kesehatan Pak Haji kurang baik. Beliau batuk-batuk. Mungkin karena pengaruh usia yang sudah tua. Oleh anak-anaknya, diputuskan ia harus ke Ternate untuk periksa di rumah sakit ditemani anaknya, Jubaedah.
Tibalah Pak Haji di rumah sakit Ternate dan menemui dokter.
“Pak Haji, ini nanti harus di-rontgen dulu ya, biar kita bisa tahu penyakit dalamnya,” ucap dokter setelah memeriksa.
“Bapak Dokter, rontgen itu barang apa lagi e?”
Rontgen itu semacam foto biar bisa lihat itu dalam tubuh. Jadi Pak Haji harus difoto dulu.”
“Oooh, kalau begitu bagaimana kalau Bapak Dokter rontgen saya di taman saja e. Biar bagus. Kebetulan saya sudah lama tidak punya foto di taman.”
Bapak Dokter pukul jidat.
Beli KFC
Setelah memeriksakan diri di rumah sakit, pak Haji diajak anaknya keliling-keliling di mal. Karena lapar, anak bapak itu mampir ke gerai KFC untuk memesan makanan.
“Selamat sore. Mau pesan makan apa?”
“Oh ya, kami mau pesan ka ef si dua.”
“Ayamnya pakai dada atau paha ya?”
“Paha satu deng dada saja. Dibungkus ya.”
“Oh iya.”
“Eh, tapi tunggu, tunggu,” Pak Haji buru-buru menambahkan. “Bungkus nasi sama ayam dipisah ya. Takut nanti itu ayam de makan nasi kasih habis lagi.”
Kasir geleng-geleng kepala.
Rebonding
Mumpung sedang di kota, Jubaedah mampir ke salon untuk meluruskan rambutnya. Rambutnya yang agak keriting jadi lurus banget. Melihat itu, Pak Haji terheran-heran.
“Eh, Anak, ngana pe rambut bagaimana kong so lurus bagini?”
“Direbonding di salon toh, Papa.”
“Hah, rebonding itu binatang apa lagi gah?”
“Rebonding itu artinya meluruskan. Jadi pakai alat yang mirip gata-gata (penjepit makanan) begitu.”
“Oooh, bagitu.”
Saat kembali ke kampung, Pak Haji langsung memimpin Salat Magrib karena dia imam desa. Setelah ikamah selesai, beliau langsung maju di tempat imam dan berujar.
“Ayoo, jamaah, rebondingkan saf!!!”
Jamaah samua baku haga heran.

Mengapa Gajah Tidak Bisa Terbang?


mop-gajah-mojokPerahu Karam
Pagi itu Markus dan Bapa Yos, ayahnya, pulang melaut dengan wajah gusar. Semalam ombak dan angin lebih ganas dari malam-malam sebelumnya, jadi Markus dan Bapa Yos mati-matian cegah perahu supaya tidak karam.
Tapi, takdir berkata lain. Mama Yos dan beberapa nelayan buru-buru membantu Markus dan ayahnya menarik perahu mereka yang hampir terbelah jadi dua. Begitu sampai di daratan, Mama Yos segera menghampiri.
“Anak, Pace, kamorang tra papa to?” Mama Yos khawatir. Bapa Yos cuma angguk-angguk kepala. Nelayan lain yang juga tetangga rumah mereka, Matius, menimpali, “Kenapa kamorang pu kapal bisa terbelah begitu?”
Mendengar itu Markus menjawab, “Pace, ko ada lihat karang yang di sanakah?” Pace Matius mengikuti arah yang ditunjuk Markus lalu mengangguk.
“Iyo, kenapa?”
“Nah, itu sudah. Tadi malam sa den Bapa tra ada lihat itu.”

Biar Tambah Semangat
Suatu hari guru-guru di sekolah Markus mengadakan sweeping alias memeriksa isi tas murid untuk mencari benda-benda yang seharusnya tidak dibawa ke sekolah. Sialnya, pagi itu Markus kedapatan membawa DVD porno dalam tasnya. Karena termasuk pelanggaran berat, Markus dipanggil kepala sekolah.
“Markus, ko tahu ka tidak ini barang apa?” Kepsek tanya sambil tunjuk DVD di atas meja.
“Iyo, Bapa, sa tau,” jawab Markus dengan muka pucat.
“Itu ko tahu kalau ini film dewasa, baru kenapa ko masih bawa ini ke sekolah?” Kepsek kembali menginterogasi.
“Begini, Bapa, sa bawa itu untuk ajak nonton teman-teman yang malas belajar. Biar dong lebih semangat.”
“Ko gila kah?!” Kepsek menggebrak meja dengan geram. Buru-buru Markus menambahkan, “Karena sa pu bapa pernah bilang ke sa pu mama begini: ‘Ma, co ko nonton ini film, biar ko tambah semangat,’ begitu …,” ujar Markus ketakutan. Mendengar itu Kepsek langsung gelagapan.

Mengapa Gajah Tak Bisa Terbang
Tadi di sekolah Bapa Guru menjelaskan kenapa burung bisa terbang. Katanya, itu karena dia punya pundi-pundi udara. Sampai di rumah Markus tanya ke Mama Yos.
“Ma, kenapa burung de bisa terbang, tapi gajah tra bisa?”
Mendengar pertanyaan itu Mama Yos ajak Markus keluar rumah. Dia kasih lihat beberapa burung merpati yang hinggap di atap seng rumah mereka.
“Ko ada lihat itu merpati hinggap di atap to?”
“Iyo, terus?”
“Anak kepala bodok ni!” Mama Yos menggeplak kepala Markus, kemudian melanjutkan, “Sekarang co ko bayangkan kalau gajah yang hinggap. Setiap hari kita pu atap bolong-bolong to!?”

Sa Masih Sekolah
Namanya juga anak muda, sedang dalam masa pubertas, Markus sudah tentu punya gadis pujaan. Sore itu ketika Markus dan Yakleb, teman karibnya, mau memancing di dermaga, dilihatnya Siska pujaan hatinya sedang duduk baca buku di bawah pohon kersen.
“Adooohhh, Yakleb, Siska de pu cantik apa yooo ….” Markus berhenti berjalan, mengagumi kecantikan Siska yang saat itu pakai jins selutut dan kaus hitam bertuliskan “I Love Papua”. Rambut Siska yang ikal panjang tertiup angin sepoi-sepoi.
“Begini, Kawan. Kalo ko memang suka sama Ade Siska, le baek ko bicara sekarang. Daripada besok de su dengan laki-laki lain, ko menyesal to?” Sebagai teman yang baik Yakleb memberi saran sambil merangkul pundak Markus.
Dalam hati Markus mengiyakan saran Yakleb. Siska memang cukup populer di daerah tempat tinggalnya. Markus juga tahu beberapa temannya ada yang naksir ade manis berkulit gelap itu.
Setelah kumpulkan keberanian Markus jalan menghampiri Siska. Detik itu juga dia mau katakan cinta.
“Halo, Kaka Markus, mo pi ke mana kah?” Siska menyapa ramah.
“Ah, sa mo pi memancing saja. Begini, Ade Siska …,” Markus memulai. Mengetahui Markus mau mengatakan sesuatu yang penting, Siska menyimak dengan baik.
“Kaka su lama suka sama ade. Ade mau jadi kaka pu pacar kah?” tanya Markus penuh harap.
“Adoh … Kaka, terima kasih eee. Tapi, maaf, sa tra bisa. Sa masih sekolah, jadi,” jawab Siska tanpa pikir dua kali. Mendengar itu buru-buru Markus menimpali,
“Oooh … tra papa, Adik. Kaka kira ko pu sekolah su libur.”

Nama Kucing
Markus kedatangan sepupu dari Ambon, namanya Frans. Di rumah Frans lihat Markus pelihara kucing ras warna putih yang cantik sekali. Sebagai pencinta hewan berbulu, sudah barang tentu Frans gemas melihat kucing Markus.
“Markus, ale pung kucing bagus eee … akang pung nama sapa la?” Sambil mengelus-elus sang kucing Frans menanyakan nama si kucing.
Markus yang sedang baring-baring nonton TV menjawab, “De pu nama Primadona Utamiria Setyaningrum Saraswati.”
“Tuangala eee … kucing pung nama panjang lawang. Tarus ale panggil akang sapa la?”
“Singkat saja, panggil PUSS to? Mo apa lagi?” jawab Markus sambil garuk-garuk pantat.

Pencuri Mangga Lebih Galak daripada Pemilik Mangga


petik manggaCuri Mangga 1
Sore itu Ungke dan kawannya mau sekali makan mangga. Itu karena tadi siang sepulang sekolah mereka melihat mangga Pak Haji yang segar-segar. Tapi, rasa-rasanya untuk meminta langsung itu tidak mungkin. Pak Haji dikenal sebagai orang yang sangat kikir.
Maka tidak ada cara selain mencuri, Ungke serta kawannya bersepakat. Pohon mangga tepat berada di samping rumah Pak Haji. Strategi mulai disusun. Ungke bertugas sebagai juru panjat, sedangkan kawannya siaga di bawah pohon. Setelah merasa situasi cukup aman, aksi dimulai.
“Ungke … ko ambe yang di bawah-bawah saja.”
“Jang ribut … mo dapa dengar, Pak Haji?”
Ungke melempar mangga ke bawah. Kawannya bersiap menangkap. Sudah lima buah yang lolos diamankan. Sialnya, mangga keenam luput dari genggaman Ungke. Jatuh tepat di atap rumah Pak Haji. Beliau langsung bergegas keluar. Ungke juga meluncur laju ke tanah.
“Woooi! Kudacuki! Papancuri!” Pak Haji memergoki Ungke dan kawannya. Namun, mereka sudah berlarian terbirit-terbirit. Pak Haji meluapkan emosinya dengan berteriak.
“Anak babi! Kiapa sa pe mangga yang ko orang panjaaattt?!!”
Ungke yang mendengar teriakan itu dari kejauhan lantas menyahut.
“Bemana, Pak Haji tra ada ba kase siap tangga! Makanya tong panjaaattt!”

Curi Mangga 2
Semenjak kejadian pencurian Ungke, Pak Haji mulai bikin penjagaan ketat. Hampir tiap hari dia duduk di muka rumah. Entah sambil baca koran, minum kopi, bahkan makan di situ untuk memastikan agar tidak ada pencuri sekaligus memberikan pesan tersirat kepada Ungke dan siapa pun yang berniat mencuri untuk sebaiknya membatalkan niat.
Setiba waktu salat Asar barulah Pak Haji luput menjaga. Dan kebetulan papanya Ungke lagi lewat di depan rumah Pak Haji. Melihat buah mangga yang segar, dia akhirnya ingin makan mangga. Merasa Pak Haji tidak sedang mengawasi, tanpa pikir lama Papa Ungke langsung memanjat.
Belum sempat mengambil satu pun buah mangga suara Pak Haji sudah terdengar.
“Woooi! Cukimai! Pancuri! Turuuun!” teriak Pak Haji dari bawah.
Mendengar itu Papa Ungke kaget bukan main. Dia bergegas turun ke bawah. Ssseeet, Papa Ungke tepat meluncur di bawah. Belum sempat Pak Haji memarahi, paaak, Papa Ungke keduluan menampar Pak Haji.
“Ko bateriak kaya apa saja! Ko kira kalo sa jatuh, ko mo tanggungkah?”
Pak Haji membisu, Papa Ungke berlalu.

Curi Mangga 3
Ternyata bukan cuma Ungke yang ingin mencuri mangga Pak Haji. Angki, anak Pak RT yang juga kawan Ungke, punya hasrat yang sama. Sebab, tidak ada lagi mangga di kampung itu selain milik Pak Haji. Jadi, jika ingin menikmati segarnya buah mangga, mengingat Pak haji yang begitu kikir, tidak ada jalan lain selain mencuri.
Ketika melancarkan aksinya, keberuntungan belum memihak kepada Angki. Dia terpergok Pak Haji.
“Turun! Turun!” bentak Pak Haji.
Angki tidak bisa lagi ke mana-kemana. Dia berada dalam kendali Pak Haji.
“Memang ko orang ini, cuma tahu mencuri. Begitu ko diajar papamu? Ikut saya, biar papamu yang goso kau, anak tidak tahu diajar!” Pak Haji emosi betul. Namun, sebelum Pak Haji bergegas, Angki angkat bicara sambil melihat ke atas pohon.
“Papa, turun sudah, Om Haji dong so dapat kita ini!”
Pak Haji mematung.

Duit Hilang
Pagi itu sewaktu Ungke akan berangkat sekolah, dia kaget karena uang yang disimpan dalam saku celananya hilang. Jumlahnya lima ribu. Maka, datanglah Ungke mengeluh di hadapan mamanya. Kebetulan pagi itu Papa Ungke juga lagi membersamai Mama Ungke.
“Sa pe uang ada hilang. Mama tra ada liat kah?” Ungke memasang wajah sedih.
“Di mana ko simpan?”
“Ini, di kantong celana, Mama. Tapi so tra ada sudah.”
“Coba ko ingat lagi, barang ko simpan tampa lain, jadi. Ada berapa yang hilang?”
“Seratus ribu, Mama” Ungke menjawab spontan.
Papa Ungke yang sedari tadi cuma diam buru-buru bersuara.
”Cukimai, ngana, Ungke. Uang cuma lima ribu itu. Papa ada pinjam tadi belikan rokok.”
Ungke tertawa sejadi-jadinya.

Tebak-tebakan S. Bagio buat Benyamin Sueb


oplet-mojok[MOJOK.CO] “Tebak-tebakan kayak begini nih: kenapa suara soang alias angsa kenceng?”
Naik Oplet
Nama populernya oplet, biasanya berupa mobil Morris buatan Inggris. Merek yang beredar di jalan-jalan Jakarta pada masa digdayanya adalah Austin. Lidah orang Betawi yang memang cenderung ngegampangin menyebutnya Ostin. Lebih ringkes, pake “O”, lidah kagak bakal kesrimpung nyebut au.
Sudah ada di Jakarta sejak 1950-an, puncak kejayaannya pada periode 1960—1970. Pada tahun 1979, karena alasan modernisasi ditinjau dari berbagai aspek, mungkin termasuk klaksonnya yang khas berada di samping luar sopir dengan bola karet yang dipencet dan berbunyi tet-tot, Ostin dikandangkan dan diganti mikrolet.
Mungkin karena karena pabrik karoserinya dulu berada di Meester Cornelis (sekarang Mester), maka rute utama yang paling rame dilewati Ostin adalah Jatinegara—Kota. Ada juga di rute-rute lain kayak Tanah Abang, Kebayoran Lama, Tanjung Priok, dan lainnya. Tapi kisah historis radikal ini terjadi di rute Jatinegara—Kota.
Ah, ya, sebelumnya perlu gue jelasin bahwa di banyak mobil Ostin jaman dulu sering ada tulisan “ANAK-ANAK GRATIS. DEWASA Rp.25.” Tidak selalu, dan kadang ada juga sopir Ostin yang nagih ongkos ke anak-anak.
Sore itu, sekira pukul 5, seorang bapak bersama dua orang anaknya menyetop sebuah Ostin di bilangan Matraman arah Jatinegara. Ostin berhenti, si bapak dan dua anaknya tidak langsung masuk ke dalam Ostin. Ia memastikan dulu tulisan di atas itu, mungkin karena uangnya pas-pasan. Tulisan itu ade!
“Anak-anak gratis nih, Pir?”
“Iye, Be. Babe doang yang kena ongkos.”
“Bae deh. Umar, Jenab naik! Abah jalan kaki. Pir, turunin di Pasar Mester ye?”
“Lah, Babe kaga ikut?”
“Nggak, gue mo jalan kaki aje. Cuman 2 kiloan enih!”
“Buset dah. Semua diitung bener,” gerutu si sopir sambil menjalankan mobilnya. Sekilas ia menengok ke belakang melihat dua anak itu, yang dibalas oleh senyum mereka ke si sopir.
“Jangan nyengir lu pade!” si sopir masih aje ngedumel.
Bolot
Sebelumnya gue kaga tau kalo Bang Wawan bolot. Iye, budeg. Kami tinggal di Gang Mujaer, bilangan Tebet. Kadang di hari Minggu kami pergi mancing ikan. Biasanye sih kami patungan ngeborong empang. Lalu masing-masing mancing, yang dapet banyak, ya rejekinye. Minggu itu kami mancing di bilangan Jeruk Purut, Jakarta Selatan. Sebuah empang yang berisi campuran ikan mas, nila, dan sedikit gurameh kami borong. Gue nongkrong di sisi barat bersebelahan dengan Mat Sani, Bang Wawan di depan kami di sisi timur.
Dari Mat Sani ini gue baru tau kalo Bang Wawan begitu. “Ntar dah, lu geroin die kalo die dapet ikan,” Mat Sani meyakinkan.
Setelah melempar beberapa umpan pancingnya ke kolam, Bang Wawan memakan Indomie yang ia pesan dari warung. Nggak lama sebuah umpannya dimakan ikan, Bang Wawan langsung menyentak joran pancingnya. Tak lama seekor ikan mas ia angkat. Mat Sani langsung kasih kode ke gue untuk segera membuktikan. Gue pun teriak.
“Wih, ikan mas gede. Umpannye ape, Bang Wawan?”
“Indomie, Leh. Tu banyak di warung. Enak, pake cabe ame daon kemangi.”
Mat Sani langsung meneblak (memukul) punggung gue, “Gue kate juga ape! Sekarang lu mau terus mancing ape pulang nih?”
Minggu depannya, hari masih pagi, gue nongkrong di bawah pohon jambu aer sambil makan nasi uduk. Tiba-tiba Bang Wawan keluar dari rumahnya menghampiri dan ngedeprok di sebelah gue sambil kebal-kebul asap rokok dan nenteng secangkir kopi. Kaga lama, Mat Sani lewat membawa joran pancing panjang. Keliatan dia mau mancing sendirian.
“Mo ke mane lu, Mat?” tanya Bang Wawan.
“Mancing. Mo nyari kocolan (ikan gabus), Wan.”
“Oh, kirain mo mancing,” Bang Wawan tersenyum elegan sambil nyeruput kopinya.
Tiba-tiba Mat Sani balik langkah ke arah rumahnya lagi.
“Kenape? Ade yang ketinggalan, Mat?” gue nanya.
“Kaga! Gue kaga jadi mancing, gara-gara ditanya orang sebelah lu tuh!”
Kuliah
Sudah 8 tahun Basit kuliah di Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Basit berasal dari pinggiran selatan kota Jakarta. Betawi turun-temurun. Ketika akhirnya kuliahnya rampung, orang tuanya bangga banget. Basit pulang kampung langsung babenye mau buat selametan buat Basit. Basit sebetulnya ogah karena agak malu.
“Babe baru panen rambutan rapiah di kebon. Lumayan dapet lima karung mah. Alhamdulilah ade nyang langsung ngeborong. Besok Babe bikinin selametan buat lu ye, Sit?”
“Kaga usah repot-repot, Be. Tapi ya, terserah Babe deh.”
Usai Magrib para tetangga dan kerabat dekat berdatangan. Termasuk engkongnya Basit yang lansung ngedeprok di sebelah cucu kesayangannya itu.
“Jadi lu kuliah di mane, Tong?”
“Di IAIN, Kong.”
“Lah, Babe lu kate lu kuliah di Yogya?”
“Iye, IAIN Yogya.”
“Oh… IAIN Gajah Mada ye? Sohor tuh!”
Basit menunduk, berujar pelan, pelan banget, “Iyeee…” sambil mengurut-ngurut jempol kakinya.
Suara Soang
Satu kali dua mendiang maestro lawak Indonesia ini tampil satu panggung: Benyamin Sueb dan S. Bagio.
Bagio: “Ben, lu tau kenape suara soang (angsa) keras?”
Ben: “Ah, ade-ade aje, lu. Kaga tau gue. Ude dari sononye begitu.”
Bagio: “Payah lu! Itu karena leher soang panjang. Makanye suaranye keras.”
Ben: “Yo, lu tau uler kan? Badannye dari kepala sampe buntut leher semua. Suaranye keras kaga?”

Alat Tradisional Ini Bisa Bikin Kita Melihat Menembus Tembok


MOJOK.CO Ungke punya tebak-tebakan, alat, alat tradisional apa yang bisa bikin kita lihat tembus tembok? Menyerah? Jawabannya adalah… setelah pesan-pesan berikut ini!
Latihan Mengucap
Daeng Sangkala adalah seorang pemuda Bugis yang merantau ke Ternate. Di Ternate, Daeng Sangkala bertetangga dengan Ungke.
Suatu sore saat hendak keluar rumah, Ungke menyapanya, “Daeng Sangkala, mo pi mana tuh?”
“Eh, Ungke, ini mi mo pergi ke pelabuhang.”
“Adu, Daeng. Pelabuhan, bukan pelabuhang.”
“Terserah,” jawab Daeng kesal sambil berlalu.
Keesokan harinya Daeng kembali bertemu Ungke.
“Om Daeng dari mana?” tanya Ungke seperti biasa.
“Dari pelabuhan, Ungke.”
“Wah sekarang Daeng so bisa bilang pelabuhan tanpa ng e.”
“Iyo to, soalnya so latihang.”
“Astaga, latihan, bukan latihang, Daeng.”

Kalau Kereta Berlari
Suatu ketika Ungke dan sahabat sekelasnya, Imad, mengikuti olimpiade di Jakarta mewakili sekolah. Ini kali pertama mereka berdua ke kota besar.
Mereka pun meminta diajak keliling Jakarta kepada seroang pendamping. Saat keliling dan tiba di sebuah jembatan penyeberangan, ada kereta yang melintas di bawah jembatan.
Imad lalu berbisik pada Ungke,
“Eh, Ungke, ngana lia itu benda e,” sambil menunjuk kereta yang barusan lewat.
“Kenapa?” tanya Ungke
“Coba bayangkan. Merayap saja begitu cepat, apalagi berdiri. Mama eee, akan seperti kilat dia lari!”
Ungke tra bisa membayangkan.

Katak Tuli
Di olimpiade tersebut, Imad dan Ungke melakukan eksperimen terhadap seekor katak.
Katak tersebut diberi instruksi untuk melompat sejauh 2 meter. Setelah katak melompat, satu kaki katak coba dipotong. Tinggal 3 kaki yang tersisa. Si katak kemudian diberi instruksi lagi untuk melompat. Si katak kembali melompat, kali ini jaraknya tidak sampai 1 meter.
Satu kaki katak dipotong lagi. Tinggal 2 kaki yang tersisa. Si katak kemudian diberi instruksi melompat oleh Ungke dan Imad. Namun, si katak hanya diam di tempat.
“Woy, cepat lompat sudah,” ujar Ungke pada si Katak.
Hingga beberapa kali diinstruksikan, sang katak tetap diam di tempat.
Ungke dan Imad akhirnya mengambil kesimpulan dari eksperimen tersebut dan menuliskan pada lembar hasil:
Setelah dua kakinya dipotong, ternyata si katak menjadi menjadi tuli.

Bagaikan Hape Kartu Dua
Siapa sih yang tidak pernah cinlok?
Hal ini juga dirasakan Imad saat mengikuti olimpiade yang pesertanya dari seluruh Indonesia itu. Imad cinlok dengan seorang siswi peserta asal Sorong.
Berkat tergabung dalam grup WhatsApp peserta, Imad diam-diam menyimpan nomor si doi dan langsung main japri. Singkat cerita mereka berdua akhirnya pacaran.
“Kaka Imad, ko betul serius deng sa to?” tanya doi lewat WA meminta keseriusan.
“Serius to sayang!”
“Iyo kah?”
“Pokoknya torang dua ini seperti hape deng kartu. Kaka hapenya, nanti ko jadi kartunya,” balas Imad
“Aduuu, so sweet. Tong saling melengkapi e. Makasih kaka Imad sayang,” balas si doi
Membaca pesan tersebut, sambil mesem, Imad berkata dalam hati,
“Syukur ngana belum tau e kalo kita ini hape keluaran terbaru yang pake kartu dua e.”

Tidak Ada Otak, Hanya Tetelan
Sudah tiga hari ini Ungke sakit gigi. Pipi sebelah kirinya bengkak. Setiap hari dia hanya selonjoran di sofa menahan derita. Sakit ini membuatnya jadi gampang marah.
Suatu sore, di ujung jalan tukang bakso membunyikan mangkuknya sambil teriak, “Bakso! Bakso!”
Ungke yang terganggu dengan suara itu mulai kesal. Tahu sendiri kan bagaimana rasanya sakit gigi?
“Bakso! Bakso!” Tukang bakso makin mendekat.
Ungke yang makin kesal berteriak dari dalam rumah, “Woe, ngana tra ada otakkah?” sambil memegang pipinya yang bengkak.
“Wah, tidak ada, Mas, cuma ada tetelan dan daging saja ini,” jawab tukang bakso polos.
“Cukimai, ngana mau ini ka?” Ungke keluar sambil bawa parang dan mengarahkan ke tukang bakso.
Tukang bakso langsung lari dorong gerobak, tidak peduli polisi tidur.

Tebakan Ungke
Alat, alat tradisional apa yang bisa bikin kita lihat tembus tembok?
Ya benar, jawabannya:
JENDELA.

Kisah Humor dari Konflik Poso yang Benar-Benar Terjadi


MOJOK.CO – Mendengar kisah seputar Konflik Poso dari sisi lain yang belum pernah diulas sebelumnya, mulai dari humor ironi hingga sarkasme.
“Komandang Mas Bro, ada di kantor, kah? Saya sedang ada di Yogya. Saya mau mampir ke tempat Komandang, kalo bole.”
Pesan SMS itu masuk ke HP saya. Barang tentu, saya sambut dengan gembira permintaan salah satu eks-komandan perang Tentena kubu Nasrani di konflik Poso ini, Jimmy Methusala.
Lepas Magrib ia tiba. Singkat saja kunjungannya, seusia satu cangkir kopi dan 2-3 batang rokok.
“Jadi ada kegiatan apa ngana di Yogya?”
“Oh, itu Mas Bro, saya diundang mengikuti workshop tentang food security. Besok acaranya mulai. Ngomong-ngomong, apa sih food security itu?”
“Pasti terkait isu-isu pangan. Kedaulatan pangan, pangan impor pangan lokal, organik dan non-organik. Gitu-gitulah.”
“Oh, saya pikir food security itu makanan satpam.”
Konflik berdarah Poso terjadi beberapa fase, sejak akhir 1998 sampai sekisar paruh tahun 2000. Dendam, marah, kesedihan, luka dan entah apa lagi pasti berada di sekitar para korban dan pelaku konflik sosial, begitu juga Jimmy. Tapi, Jimmy dan kawan-kawan, terhadap orang-orang eks musuhnya di dalam konflik itu, telah menjalin rekonsiliasi unik tanpa campur tangan negara.
Malah, Jimmy telah membuat catatan atas kejadian-kejadian lucu pada periode penuh luka tersebut. Baik ironi maupun sarkasme, semua keluar seperti yang dibayangkan Freud dalam teorinya tentang pelepasan inhibisi. Dorongan agresif yang mengendap di bawah sadar, kemudian dikeluarkan lewat humor, dan plong.
Jadi, marilah kita membaca kisah-kisah Jimmy.
Ijazah SMA Ketinggalan
Ketika kampung kami dibakar, setelah mendengar saran untuk mengambil dokumen-dokumen penting seperti ijazah, seorang  teman langsung lari tergopoh-gopoh turun dari gunung ke rumahnya.
”Kau mau kemana?” seseorang mencegatnya.
”Ke rumah! Ijazah SMA-ku tertinggal.”
”Hah? Ijazah SMA? Kau, kan, tidak tamat SMA?!”
”Tuhang Allah, betul! Saya lupa!” katanya sambil menekuk muka.
Pengungsi Kutuan
Kali lain, seorang pengungsi marah-marah datang menghampiri Jimmy, gerundelan:
”Jangan-jangan, PMI (Palang Merah Indonesia) itu gila.”
”Tenang. Duduk dulu. Ada apa dengan PMI?”
”Ketika saya dengar ada pemeriksaan kesehatan dari PMI, beramai-ramai kami datang untuk memeriksa kesehatan. Sampai di sana, seorang petugas PMI bertanya, ‘Bapak kenapa mengungsi?’ Saya pikir ini pertanyaan bodoh yang tak perlu dijawab. Seluruh dunia juga tahu kami mengungsi karena ada konflik. Tapi, yang lebih bodoh lagi, ia memberikan sebotol obat tanpa menjelaskan apa gunanya obat itu. Mungkin vitamin, pikir saya. Sampai di luar, saya baca baik-baik tulisan di botol obat itu. Di situ tertulis Peditox, obat kutu rambut! Saya masuk lagi ke dalam menemui petugas PMI tadi dan bilang, ‘Jadi kau pikir saya mengungsi karena ada kutu rambut masuk ke otak saya, kah?’”
Teringat Peliharaan
Ada seorang tua yang juga pengungsi dan paling rajin mengunjungi kami. Ia seorang guru yang kami hormati di Poso.
Suatu hari, dia memperhatikan teman kami yang diam saja dan tidak ikut bersenda gurau. Katanya,
”Sudahlah, tidak usah kau pikirkan apa yang menimpa kita. Anggap saja semua ini cobaan.”
”Saya tidak apa-apa, Om. Rumah saya baru satu kali dibakar, sedangkan rumah Om sudah dua kali dibakar, tahun 1998 dan bulan lalu. Om yang rumahnya sudah dibakar dua kali saja masih tenang-tenang, apalagi saya yang baru satu kali.”
Ia diam sebentar, lalu melanjutkan, “Yang saya pikirkan monyet saya, Om. Siapa yang akan memberinya makan?”
Ya, ia memang memelihara monyet yang sempat ia lepaskan ketika kami mau lari.
Benarkah Damai Itu Indah?
Pada tanggal 14 – 20 Desember 2001. diselenggarakan pertemuan Molimo, eh Malino, oleh pemerintah, untuk memfasilitasi proses rekonsiliasi dan perdamaian. Sayangnya pertemuan ini cenderung hanya melibatkan para tokoh dan elite.
Suatu hari setelah pertemuan Malino, kami duduk-duduk di beranda Limbue (tempat berkumpul dan membicarakan sesuatu), rumah tua tempat kami tinggal. Rumah itu terletak di atas punggungan bukit, yang dapat dengan jelas melihat orang lalu-lalang di bawah.
Lalu kami melihat seorang teman yang berdiri menatap sebuah spanduk bertuliskan “Damai Itu Indah,” sambil tertawa-tawa. Penasaran, kami lalu memanggil teman itu untuk naik ke Limbue.
“Kau kenapa?”
“Saya tadi diajak untuk ikut pertemuan sosialisasi deklarasi Malino. Selesai pertemuan, saya diminta menandatangani daftar hadir. Ketika mau pulang, saya diberi amplop berisi uang.”
“Terus apa hubungannya dengan tingkahmu tertawa-tawa di bawah spanduk tadi?”
”Tulisan di spanduk itu salah,” ujarnya polos dan membingungkan kami semua.
”Seharusnya yang ditulis di situ adalah, ‘Ternyata, Dana Itu Indah’.”
Ya Tuhan, Saya Cuma Menyamar
Sejak 2003, kelompok Islam dan Kristen sering kali berkonflik. Dari konflik ini, dikenallah nama Desa Tokorondo yang sempat hancur diserang pasukan Kristen, sekaligus desa yang dianggap momok bagi warga Kristen. Cerita berikut menggambarkan bagaimana warga Kristen sering merasa takut melewati Tokorondo.
Seorang ibu beragama Kristen, mendapat kabar anaknya yang sudah selesai kuliah akan diwisuda di Palu. Sang anak sangat ingin ibunya hadir saat wisuda, tapi keamanan belum kondusif karena masih ada upaya sweeping KTP oleh masyarakat Muslim. Namun akhirnya, sang ibu tetap naik bus ke Palu.
Tragedi-Lucu-di-Poso-MOJOK.COHari itu, bus akan melewati daerah muslim. Dari dalam mobil kelihatan pos-pos palang masyarakat yang melakukan sweeping KTP. Si ibu mulai ketakutan dan berpikir keras mencari kiat. Sehelai selendang ia atur dan kenakan sedemikian rupa menyerupai jilbab. Di sebuah pos palang, bus berhenti, lalu seorang pemuda masuk.
“Ada penumpang nasrani di mobil ini!?” teriaknya lantang.
Ibu itu diam dan berdoa dalam hati.
“Tidak ada,” jawab supir.
Bus melanjutkan perjalanan. Di kampung berikutnya, terjadi peristiwa serupa, tapi bus tetap bisa melanjutkan perjalanan.
Satu desa lagi yang harus dilewati, yaitu Tokorondo. Si ibu semakin ketakutan. Di pos masyarakat, bus dihentikan, dua orang pemuda masuk.
“Ada penumpang Nasrani di bus ini?” Si ibu mengatur letak “jilbabnya” dan pura-pura tertidur.
Supir menjawab, “Tidak ada.” Bus kembali  bergerak gontai. Si ibu merasa lega.
Lewat sudah daerah yang menakutkan itu. Tapi, si ibu kemudian galau dan bertanya dalam hati: apakah ia telah melakukan dosa dengan mengubah selendangnya menjadi jilbab? Ia merasa telah mengkhianati  agamanya.
Dengan perasaan bersalah, ia berdoa, “Ya Tuhan, saya tidak berhianat. Saya cuma menyamar.”
Sudah Azan, Harus Solat Dulu
Ketika pasukan Jimmy menyerang basis pasukan Ateng, alias Andi Baso Thahir (tokoh kombatan Muslim dari Desa Tokorondo) yang rupanya tak berpenghuni, pasukan Jimmy menulis di sebuah tembok: “Pasukan Jet Li baru dari sini.”
Hal ini kemudian dibalas oleh pasukan Ateng ketika melakukan serangan ke basis pasukan Jimmy, dengan tulisan: “Pasukan Van Dam baru dari sini.”
Ketika akhirnya mereka saling baku tembak dan serang secara berhadapan, terdengarlah suara azan dari sebuah masjid. Maka, pasukan Ateng berteriak, “Hoi, berhenti dulu, ya? Kami mau salat dulu.”
Permintaan ini kemudian dibalas oleh suara dari pasukan Jimmy, “Oke…”
Pertanyaan Para Pembela Agama
Dalam satu kesempatan, ketika kedua kelompok tersebut bertemu dan berdialog, Jimmy pernah menyatakan,
“Coba Kawan-Kawan pikirkan, kita berperang, masing-masing membela agama dan keyakinannya. Eehh… Ketika penghakiman terakhir, ternyata yang masuk surga adalah orang-orang yang tidak beragama. Apakah Kawan-Kawan berani protes ke Tuhan?”
Dari Lawan Jadi Kawan
Keakraban Jimmy dan Ateng sudah melebihi keakraban seorang teman. Lebih mirip seperti saudara yang bisa saling mengingatkan dan mendukung.
Bila isu yang potensial menyulut kerusuhan merebak di Poso, mereka saling baku kontak untuk cek dan ricek.
Malah, di antara eks kombatan kedua kubu, telah tercipta EWSBMK, Early Warning System Berbasis Mantan Kombatan.

Berhenti Merokok Cara Gorontalo

Berhenti Merokok Atinggola adalah satu kecamatan di Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Kecamatan itu merupakan batas antara ...